Sebatang kara tidak sepadan dengan sebatang pena: edisi orang lama.
Seberapa banyak seseorang akan melakukan apapun demi cinta? Bukan, ini bukan tentang jerih payah tetesan peluh selepas banting tulang untuk sesuap nasi. Bukan lagi, bukan tentang karyawan underpaid tukang pasrah bila dikejar overtime yang ujung-ujungnya mengemis dan berlutut demi kenaikan gaji dan posisi. Ini juga bukan tentang seorang nelayan yang menunggu pasang-surutnya air laut demi jejaringnya terisi ikan-ikan segar.
Mengapa beribu-ribu cara orang lakukan demi sesuap cinta?
Yang menghabiskan bermili-mililiter tinta hitam demi berlembar-lembar surat cinta. Yang katanya sih dibuat dengan penuh kasih sayang dan harapan. Yang katanya dibuat dengan senang hati ditambah bayang-bayang rindu.
Cuih.
Busuk. Basi.
Terkadang jatuh cinta bukan seperti menghirup nafas segar di pagi-pagi buta. Atau semudah membolak-balikkan telapak tangan. Hal-hal simple dan remeh, hal-hal kecil dan nyeleneh. Itu bukan cinta, cinta tidak pernah semudah itu.
Terkadang cinta itu bagai peristiwa sesak nafas, ketika paru-paru yang seharusnya terisi udara berkat pertukaran oksigen dari dalam jantung, ibarat ini terisi hanya sebelah. Seperti ada sesuatu yang mengejar-ngejar namun tak terlihat wujudnya. Seperti ada yang mengganggu namun tak ada sosoknya di depan mata. Atau seperti pingsan dan bangun berkali-kali di tempat yang sama, tak melihat dan mengenal waktu yang berjalan begitu sana, tak sadar apa yang sudah terlewat— melengos pergi.
Cinta itu bak penyakit kronis.
Mau dibuat obatnya dengan sediaan apapun bentuknya, seberbahaya apapun jenisnya, cinta itu bak penyakit kronis yang tak ada penghujungnya. Walau jatuh di orang yang berbeda-beda, masih ada saja satu bayang-bayang samar yang mengikuti kemana-mana. Sesosok hantu berwujud kenangan lama, sesosok demit yang menertawakan gelitik kupu-kupu baru di perut kita.
Karena, walau jatuh-bangkit di orang baru, kalau penyakit kronisnya masih ada, mau dihindari dan diobati dengan segala cara pun tak akan kalah.
Ini baru namanya cinta.
Yang menangnya masih di masa lampau, yang hantunya masih dipanggil-panggil dengan mainan. Orang bilang itu hanya tahayul. Lebih baik sebatang kara daripada harus meraih sebatang pena dengan susah payah. Mengulang kalimat cinta yang dahulu lancar terucap, lancar tertulis, lancar terpikir. Bila dikatakan sang penulis adalah orang dungu pun tak masalah, karena memang benar adanya.
Kutukan-kutukan itu mungkin tidak lagi sepadan dengan kehidupan realita. Yang berjalan pada hari ini, detik ini, saat ini. Cinta seharusnya membuat waktu seakan berhenti. Bila waktu berjalan tetapi disusuli dengan penyakit kronis, apa masih bisa disebut-sebut sebagai cinta?
Mungkin ini namanya juga cinta.
Kita tidak pernah tahu arah tujuannya. Ke mana perginya cinta, di mana titik temunya, bagaimana lagi rasa jatuhnya, siapa orangnya, dan hal-hal remeh lain yang bisa ditanya-tanyakan tentang cinta.
Terserah masing-masing dari mereka-mereka yang menginterpretasikannya.
Mungkin kalau saya, habisnya masih di orang lama?